Contoh Cerpen Islami : Sebening Kilau Permata Yaqut

Contoh Cerpen Islami Sebening Kilau Permata Yaqut

Saya membetulkan posisi terompah abah sebelum beliau selesai mengenakan jubah putih kesayangannya. Sejak setahun terakhir, jubah itu menjadi andalannya untuk menghadiri undangan khusus. Dan malam ini, abah akan memenuhi sebuah undangan yang telah lama dinantinya. Beliau berupaya tampil menarik dengan berkali-kali mematut diri di depan cermin panjang yang tak jauh dari kamar mandi. Saya membendung senyum mengamati abah yang berperilaku seperti buah hati muda, mondar-mandir cuma karena mau membetulkan penampilannya.

Contoh Cerpen

“Terompah abah telah kau siapkan, Meyda?” Saya mengangguk.
“Telah kau hubungi Ahsan?” Saya kembali mengangguk.
“Oh ya, bantu tasbih abah di depan rak buku yang menghadap ke selatan.” Saya berlalu dari hadapan abah untuk memenuhi perintahnya. Kuraih tasbih dengan butiran permata yaqut yang lembut dan mungil itu, kemudian kumasukkan ke dalam saku jubah abaya ungu yang kukenakan malam ini.

Sinopsis Cerpen Singkat
“Meyda, Ahsan telah datang.” Panggil abah lirih melainkan terdengar tegas. Saya langsung menghampiri abah yang telah siap menungguku di tempat duduk komponen depan bersama Ahsan, sopir pribadi abah. Yah! Saya bertugas mendampingi abah kemanapun beliau pergi sejak hari wafatnya ummi sebagian tahun yang lalu. Karena, akulah satu-satunya putri semata wayang dengan muatan berat yang akan saya tanggung nanti. Bismillah dengan tulus, in sya Allah saya dapat menciptakan pesantren yang menjadi tanggung jawabku ini lebih bagus, pantas permintaan abah.
“Abah tak mau santri yang banyak. Abah cuma mau santri yang nurut.” Pesan abah saat sebulan yang lalu meringkuk lemah di rumah sakit.

“Neng, telah sampai.” Ahsan membangunkanku pelan.
“Oh!” Saya gelagapan, kemudian bersusah payah menegakkan tubuh yang ku biarkan meringkuk selama perjalanan.
“Abah mana?” Ahsan menunjuk abah yang sedang di gandeng sebagian santri Habib Ahmad dengan jari jempolnya.
“Ngapunten, tadi romo yai mengamati antum telah betul-betul lelap. Namun, sekarang Neng Meyda diutus menghadap romo yai beserta habaib yang telah menunggu kedatangan Neng Meyda.” Saya langsung beranjak dan hatiku sedikit berbungah saat memasuki gerbang yang langsung menghubungkan dengan ruang tamu mewah itu. Mau menemui sosok pilihanku yang sampai sekarang pun saya belum berani mengajukannya pada abah. Jangankan matur (bilang. indo) kepada abah, namanya saja saya belum tahu. Yang terang ia tampan. Saking tampannya, saya mengevaluasi wajah itu seperti sibawaih (Tokoh yang lazim disebutkan dalam ilmu Nahwu). Dan saya baru dua kali bersua dengannya pada acara yang sama sebagian tahun lalu.
“Rupanya ia tak datang.” Saya menunduk lesu.

“Meyda?” Panggil abah.
“Iya, Bah?” Jawabku, berupaya menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyeruak.
“Dengarkan dawuh Habib Ahmad.” Tutur abah yang langsung kuturuti.
“Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang harinya lebih buruk dari hari kemarin maka ia termasuk orang yang musnah, barang siapa yang harinya sama dengan hari kemarin maka ia termasuk orang yang merugi, dan yang mujur yakni orang yang harinya senantiasa lebih bagus dari hari kemarin.” Sebentar saya merenungkan tutur kata dari Habib Ahmad yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh penerjemah.

“Dengarkan bagus-bagus, Meyda.” Abah langsung meluncurkan kata-kata yang membikin kedua pipiku memanas.
“Tidak selamanya manusia hidup dalam kebahagiaan. Jangan gara-gara ditinggal ummimu saja kau jadi malas beribadah seperti dulu. Namun akan merugikan dirimu sendiri. Abah harap tak ada sesi yang kedua kali setelah abah meninggal nanti.” Abah memutar biji tasbihnya dengan khusyuk.
“In sya Allah, Bah.”
Abah mengangguk dan saya bernapas lega. Syukurlah, saya memang dua kali frustasi. Dan yang dimaksud abah kali ini bukan keegoisan pada seseorang yang dulu pernah gagal dijodohkan denganku melainkan frustasinya saya saat menghadapi kepergian ummi ke daerah pembaringan terakhirnya.

Sebetulnya, saya berencana merajut kisah baru bersama calon suamiku sebelum ummi meninggal untuk membahagiakannya bersama lelaki pilihanku sendiri. Namun apa tenaga jikalau bukan jodoh, maka Alloh akan menggerakkan salah satu hati untuk tak mencintai lagi. Dan saking sibuknya menyelesaikan program S2, saya belum dapat memenuhi permintaan ummi yang menginginkanku menikah di usia belia dan saya belum dapat menemukan pengganti mas Damar. Sampai hari pada tahun itu tiba.

“Monggo di minum, Neng.” Tiba-tiba datang seorang santri putri yang mengajakku beristirahat di ruang belakang. Saya menoleh ke arah abah untuk mendapat persetujuannya.
“Meyda.” Panggil abah sebelum saya beranjak. Beliau menggenggamkan tasbih dengan butiran putih bening itu di tangan kananku.
“Abah.”
“Istirahatlah secukupnya. Selama ini abah senantiasa merepotkanmu.” Abah mengusap jemariku dengan lembut. Saya cuma mengangguk dan memasuki rumah mewah dengan design interior masa sekarang itu bersama Nila.
“Semoga Neng Meyda betah disini. Ini bekas kamar Habib Husain.” Ujar Nila, khodam (asisten. indo) menawan yang mendampingi istirahatku itu sibuk membawa masuk banyak camilan ke dalam ruangan.
“Terima kasih. Saya mengantuk, Nila.” Jawabku sekadarnya, kemudian tak lagi menyadari keberadaanku. Samar-samar saya mendengar Nila yang bertanya pada dirinya sendiri perihal letak selimut khusus tamu yang baru saja dicucinya.



“Hari ini abah ada jadwal mendidik di pondok putri. Kitabnya Tafsir Al-jailani. Telah Meyda siapkan di atas meja.” Abah mengangguk santai, menikmati sayur brokoli yang dimasak pantas selera oleh khodam pribadi beliau. Untuk persoalan memasak, abah memang tak mau mempercayakannya padaku. Mengingat saya yakni sosok manja yang segala sesuatu semestinya dipersiapkan sebelum saya murka-murka mencarinya dan ummi pun tak mau mengizinkan kulit kuning langsatku terbakar oleh api kompor yang membahayakan. Namun, itu telah berlalu setelah ummi meninggal. Dan sekarang, tugasku yakni mandiri dan merawat sebagian barokah dalam hidupku. Sedikit ilmu yang pernah kudengar dari salah seorang guru memberi tahuku bahwa, jikalau sosok seorang ibu telah meninggal dunia, hilanglah separo barokah dalam hidupnya. Dan saya benar-benar mau mengistimewakan abah.

“Tasbih abah mana, Meyda?” Tanya abah yang telah siap dengan terompah di kaki kanannya.
“Abah menitipkannya pada Meyda.” Saya langsung berlari kecil menuju kamar yang berada di lantai dua. Setelah merogoh saku jubah, saya merasa panik karena tasbih itu tak ada. Apa mungkin saya lupa? Tanyaku dalam hati dan berupaya merekam ulang kejadian dindalem (rumah. jawa) Habib Ahmad setelah dibangunkan Nila.
“Abah, tasbih itu tak ada.” Bibirku bergetar membendung tangis. Saya merasa tak dapat menjaga amanah sekecil itu. Menjaga tasbih saja saya nggak dapat apalagi pesantren sebesar ini.
“Abah, apa ini tanda jikalau Meyda tak pantas meneruskan syiar ini?” Abah merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Abah percaya padamu. Kau mengerti, tasbih itu yakni tasbih yang bukan sembarang orang dapat tau. Hanya mereka yang memiliki ketaqwaan tinggi yang sanggup memandangnya.”
“Bagaimana mungkin kemarin Meyda dapat memandangnya dan hari ini tak, Bah?” Tanyaku penasaran.
“Memang, hati manusia acap kali terombang-ambing. Ya Muqallibal qulub, Wahai Allah Sang Pembolak-balik hati, akan ada waktunya bagi putriku ini untuk tetap menjadi sang peneguh iman.” Beliau melirikku dengan senyum yang tak dapat kuartikan.
“Abah, Meyda bukan orang yang bertaqwa.” Ujarku penuh kesedihan. Sebagai putri semata wayangnya, saya benar-benar merasa lemah.

“Tasbih itu yakni pemberian Syaikh yang abah ketahui dari mimpi. Beliau merangkul abah sembari mengucapkan, bahwa ketaqwaan abah ini sepadan dengan ketaqwaan beliau. ”
“Subhanallah abah, Maha Suci Allah yang meletakkan kerasnya irodah (harapan yang kuat) di hati para pengharap akhirat.” Saya mengecup tangan abah penuh takzim.
“Maafkan Meyda yang tanpa sengaja menghilangkan tasbih itu, Bah. Meyda akan mencarinya di ndalem Habib Ahmad.” Pintaku pada abah.
“Iman tanpa ibadah tak akan berguna. Ibadah tanpa iman tak dapat di terima Allah. Agar ibadah diterima maka semestinya dibekali ilmu. Gunakan ilmumu untuk dapat membaca jejak seseorang dan merasakannya. Sekali lagi, tasbih itu bukannya hilang, melainkan kau tak dapat memandangnya. Mungkin kau meninggalkan sebagian amalan yang abah berikan.” Saya mengangguk. Karena kelelahan, saya memang sengaja meninggalkan amalan-amalan yang diberikan abah. Dan saya tak pernah menyadari perihal tingginya nilai spiritual yang ada pada tasbih itu.
“Meyda minta maaf, Bah. Meyda janji tak akan mengulanginya.” Janjiku pada abah yang disambut dengan anggukan lembut dari beliau.
“Berikan tasbih itu pada Meyda.” Putus abah yang lama melihatku termenung. Dan saya kembali termenung setelah mengamati sosok yang betul-betul saya kenali. Ia?



“Kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik sebagai maharnya. Dan Meyda mau mengunjungi makam para Salafus Sholih yang berada di Indonesia.” Ucapku datar dan mau calon suamiku akan memenuhi keinginanku.
“Bagaimana jikalau ziarahnya itu dalam rangka bulan madu?” Usulan abah yang langsung kusambut dengan anggukan takzim. Walau dalam hatiku kurang dapat membetulkan masukan abah. Namun, segala sepakat dan pernikahan akan berlangsung nanti malam atas kesanggupan dari calon suamiku dan pihak keluarganya.
“Meyda, apa yang kau perlukan?”
“Tidak ada, Ummi. Perlengkapan busana, Meyda mewarisi gaun almarhumah ummi. Masih bagus kok.” Calon ibu mertuaku itu tersenyum menatapku.

Saat malam memasuki, dimana detik-detik aqad itu akan dimulai saya merasa betul-betul gerogi. Berulang kali abah mengingatkanku untuk tak menularkan rasa gerogi itu pada calon suamiku.
“Abah, syafakallah.” Saya merangkul pundak abah yang telah seperti itu rapuh. Saya mau kesehatan senantiasa ada pada dirinya.
“Amin ya mujibassailin.” Balas abah. Saya mengamati ada kesedihan di mata sendunya. Mungkin beliau berdaya upaya, akupun berdaya upaya sebentar lagi takzimku sepenuhnya untuk suami.
“Meyda, kau telah tau kan jikalau suamimu itu bakal syaikh besar?” Saya mengangguk.
“Mengabdilah padanya, karena ia akan senantiasa mengingatkanmu pada Rabb dan Rasulmu walau sekadar melirik wajah sejuknya.” Saya kembali mengangguk.

Aqad berlangsung selama tiga menit. Suamiku benar-benar lancar dan fasih dalam melafalkan sighot aqad dalam aksen bahasa arab tulen. Saya tak pernah menduga, ia yakni seorang habib yang menjadi putra angkat Habib Ahmad. Dan saya kembali tercengang saat mengetahui bahwa Husein, si sibawaih itu yakni putra kandung Habib Ahmad.

“Bang, selamat ya. Suatu saat Husain juga mau menerima wanita menawan yang sholeha seperti Neng Meyda.” Ujar Husain mendekati abangnya. Husein, si sibawaih itu melirikku.
“Amin.” Sahut Ahsan, seseorang yang baru saja menjadi halal untukku. Seseorang yang adik angkatnya pernah jadi komponen yang saya semogakan untuk hidupku.
“Aminin dong, Neng. Do’a pengantin baru umumnya mustajabah.” Guraunya, membuatku tersipu. Namun, ku merasa canggung dan ragu.

Saat saya mulai membalas senyumnya, tiba-tiba info itu melenyapkan senyumku. Segera.
Abah? Penyakit jantung abah kambuh? Saya sempat murka dalam hati karena abah tak bilang dari awal perihal penyakit beliau yang acap kali kambuh akhir-akhir ini. Bila seperti itu, saya pasti akan menunda acara ini. Namun, abah bersikeras jikalau tak sekarang pernikahan itu dikerjakan, maka abah tak akan dapat melihatku.
Memang tiada yang semestinya disalahkan. Selagi ada suka, kesedihan pasti mendekat. Bukan berarti Allah tak suka mengamati hamba-Nya bahagia melainkan, itu yakni format ujian yang di berikan-Nya untuk menguji setebal apa iman para hambanya.

“Yang tabah, Nduk.” Ummi mendekapku. Saya menangis tiada henti setelah acara pemakaman abah selesai. Tidak lupa saya terus berdzikir dalam hati dengan tasbih pemberian abah. Salah satu format rasa rindu yang saya sampaikan lewat Al-fatihah khusus untuknya. Dan saya tak dapat mempertahankan hari bahagiaku kecuali cuma dua jam yang berarti. Mas Ahsan tetap menguatkanku dan berencana untuk mengoptimalkan pesantren ini pantas permintaan abah.

“Bi, abah memberitahuku jikalau antum yakni syaikh yang hadir dalam mimpi abah untuk memberikan tasbih ini.” Mas Ahsan mengangguk. Namun ini senyumnya tak sesopan saat menyamar menjadi seorang sopir pribadi abah.
“Tasbih ini pemberian abi angkatku, Habib Ahmad. Dan cuma orang-orang yang memiliki ketaqwaan sepadan dengan kakek beliau yang dapat memandangnya. Abahmu yakni salah satunya.”
“Alhamdulillah. Namun, seorang Habib, mengapa semestinya menjadi sopir? Namun terlalu merendahkan diri.“ Protesku.
“Di luar sana pun banyak habaib yang menjadi tukang becak, Dek. Dan alasan mengapa abi memilih menjadi sopir pribadi abah, karena abi mau dekat dengan abah.”
“Santri yang tekun juga bakalan dekat dengan abah.” Kilahku, membetulkan ucapannya.
“Rupanya menjadi santri yang tekun saya memang dapat dekat dengan abah. Namun, jikalau sopir kan saya dapat lebih dekat dengan abah dan putrinya.” Mas Ahsan menjahiliku dengan ucapannya.
“Rupanya ada niat terselubung.” Saya mencibir, seolah berpura-pura menyesal.
“Bukan seperti itu.  itu, saya juga mau menyembunyikan identitasku sebagai putra dari kakak abi angkatku dan mau ngalap (mengambil. indo) barokah dari yai yang putrinya mau ku jadikan ratu pendamping hidupku.” Mas Ahsan merangkulku penuh sayang.
“Insya Allah tak ada yang salah saat seorang Habib banyak berdalih.” Candaku kemudian mengakhiri kajian kitab Al-muwatha’ itu dengan pergi berwudhu dan melanjutkan shalat malam.

Cerpen Karangan: Rista Dwi Anggraini
Kategori: Cerpen Cinta Islami, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 23 August 2021

Posting Komentar untuk "Contoh Cerpen Islami : Sebening Kilau Permata Yaqut"